Dr. Widodo Judarwanto, Sp.A,
dari Children Allergy Center, Rumah Sakit Bunda, Jakarta, mengatakan,
memang belum tersedia data spesifik yang menunjukkan angka kenaikan
penderita alergi di Indonesia. Meski begitu, jumlah pasien anak yang
datang karena keluhan alergi kian bertambah dari waktu ke waktu.
“Meningkatnya kasus Alergi makanan pada anak adalah bagian dari melonjaknya kasus alergi secara umum di seluruh dunia,” ujar Scott Sicherer, M.D., penulis Understanding and Managing Your Child’s Food Allergies.
Walau tidak jelas penyebab di balik kecenderungan ini, banyak ahli
menyodorkan hipotesis yang terkait dengan kondisi kebersihan. Dalam
kehidupan modern ini—sulit ditemukan kondisi air kotor karena tidak
difilterisasi, debu, serta hewan berkeliaran—sehingga sistem imunitas
seseorang melemah dan bereaksi secara berlebihan terhadap hal yang
sebetulnya tidak berbahaya. Hasilnya: Bahkan sesuatu yang sepertinya
tidak berbahaya (seperti kacang!), bisa mengakibatkan pertahanan tubuh
bereaksi secara tak terkendali. Seiring sel-sel imunitas tubuh yang
overeaktif melepaskan histamin dan zat-zat kimia lain yang terkait
dengan peradangan, tubuh juga memperlihatkan gejala, seperti
bintik-bintik merah, gatal, diare, dan, dalam kasus tertentu,
anafilaksis.
Menurut dr. Widodo, teori ini hanya salah satu dari
banyak sekali hipotesis seputar penyebab alergi. “Hal lain yang juga
dicurigai memicu alergi adalah polusi dan jenis makanan yang kini
semakin beragam. Dulu, jenis makanan tidak sebanyak sekarang, sehingga
paparan anak terhadap zat penyebab alergi lebih sedikit,” jelasnya.
Juga,
teori higienitas yang dijelaskan di atas masih belum bisa dipastikan
sebagai penyebab alergi. “Penelitian dilakukan dengan cara meneliti
jumlah penderita alergi di kota - yang relatif higienis, dibandingkan di
desa - yang terbilang lebih rendah tingkat kebersihannya. Hasilnya?
Jumlah penderita di kota lebih banyak dibandingkan di desa. Dan, ada
jauh lebih banyak jenis makanan di kota dibandingkan di desa. Jadi,
masih belum pasti juga bahwa alergi makanan semata-mata disebabkan
lingkungan yang terlalu steril,” ujar dr. Widodo.
Berikut langkah untuk mengurangi risiko anak mengalami alergi makanan, plus cara mengatasinya:
Warisan keluarga
Hal
pertama yang perlu Anda telusuri adalah ada atau tidaknya riwayat
alergi dalam keluarga. “Semakin banyak anggota keluarga yang mengidap
alergi, semakin besar pula risiko anak Anda menderita hal serupa,” ujar
Dr. Sicherer.
Dr. Widodo menambahkan, ada 3 penyebab dari alergi
makanan, yakni riwayat genetik, adanya ketidakmatangan saluran
pencernaan, dan paparan makanan yang bersifat alergen terlalu dini.
Catatan: Kedua penyebab pertama tersebut akan membaik ketika anak
berusia 2-7 tahun.
Strategi lain untuk menghindari alergi adalah
menunda pemberian makanan padat hingga si kecil berusia 6 bulan.
Penelitian menemukan, hal ini terbukti bisa mengurangi risiko anak
terserang alergi makanan. Bagi ibu menyusui, meski sejumlah penelitian
menyatakan tingkat efektivitasnya tidak terlalu besar, mengurangi asupan
makanan yang bersifat alergen dari menu sehari-hari bisa membantu
menjauhkan anak dari paparan makanan alergen.
Kenali gejala dan respon anakMendeteksi si kecil mengidap alergi adalah perjuangan tersendiri. Leslie Norman-Harris dari Woolwich Township, New Jersey, ingat ketika Camryn
(4 tahun) makan udang. “Begitu bilang mulutnya gatal, saya dan suami
langsung menyadari apa yang terjadi,” ujarnya. Untunglah, gejala tidak
bertambah parah, dan sejak itu Camryn tidak boleh makan udang.
Gejala lain (yang hampir selalu muncul beberapa menit setelah makan), adalah:
• Mual
• Muntah
• Diare
• Gatal (tenggorokan, mulut, mata, kulit, dan telinga)
• Bibir bengkak
• Ruam merah (bintik atau bentol besar seperti eksim)
• Tenggorokan tersumbat (sulit menelan atau bernapas)
• Lidah bengkak dan memenuhi mulut
• Dada sakit
• Pusing
• Wajah pucat atau membiru, denyut nadi melemah dan kehilangan kesadaran.
Pada
reaksi alergi ringan, seperti sakit perut atau ruam merah, perhatikan
kondisi si kecil bila keadaannya memburuk, dan hubungi dokter. Untuk
meredakan rasa kurang nyaman, banyak dokter merekomendasikan
antihistamin sesuai dosis dan berat badan anak. Jika anak mengalami
reaksi alergi relatif berat, seperti tenggorokan tersumbat, bibir
membengkak, atau kehilangan kesadaran, segera hubungi nomor darurat
rumah sakit. Bicarakan pada dokter apakah Anda perlu menyimpan
epinefrin.
Deteksi dan terapi Jika
Anda curiga si kecil mengidap alergi, berkonsultasilah dengan dokter,
terutama spesialis di bidang alergi. Dokter akan menanyakan gejala untuk
mendeteksi adanya pola tertentu. Juga, ia akan melakukan skin prick test,
yaitu mengoleskan sejumlah kecil alergen pada kulit, atau tes darah
untuk mendeteksi keberadaan antibodi yang terkait dengan reaksi alergi.
Hingga kini, performa tes alergi belum sempurna, Hugh Sampson, M.D.,
direktur Jaffee Food Allergy Institute di Mount Sinai School of
Medicine, New York, menyarankan melaksanakan tes alergi sekadar
mengkonfirmasi kecurigaan terhadap alergi makanan tertentu.
Begitu
tahu si kecil alergi, paling baik menghindarinya. Jika anak terlanjur
makan makanan itu, ikuti instruksi dokter. Bisa jadi, Anda perlu
memberinya antihistamin atau suntikan epinefrin.
Terapi
pengobatan masih dipelajari, seperti memberikan kekebalan dengan cara
memberi makanan penyebab alergi dalam dosis tertentu bersamaan dengan
asupan zat yang mampu menekan reaksi imunitas tubuh. Pengobatan lainnya
adalah memberi makanan penyebab alergi dalam porsi kecil, yang ditambah
jumlahnya dari waktu ke waktu.
Yang Mungkin Menarik Untuk Sobat Klipingkita Baca :
Nah kurang lebih seperti itulah referensi, artikel, review seputar Alergi makanan pada anak. Jika informasi seputar Alergi makanan pada anak ini bermanfaat bagi kalian semua, jangan sungkan berbagi dengan teman teman kalian di Facebook, Twitter dan google plus. Admin Kliping Kita
Yang Mungkin Menarik Untuk Sobat Klipingkita Baca :