Media Informasi dan Kliping Online

bebas bayar, pembayaran mudah dan cepat, transaksi online, pembayaran tagihan dan tiket, transfer dana online

Rabu, 02 Januari 2013

Cerpen Sedih - Sekar

Hi,Selamat datang di blog Kliping kita. sobat kliping, hari ini kami akan memberikan informasi seputar Cerpen Sedih - Sekar untuk kalian semua

“Mama..kenalin ini Sekar.” Kata Enggar pada mamanya. Aku melangkahkan kaki perlahan ke arah wanita setengah baya yang sedang duduk di gazebo rumah Enggar. Wanita itu menoleh kearahku dan tersenyum, kemudian mengulurkan tangannya. Kusahut tangan wanita yang terlihat sangat ramah itu, lalu kutempelkan ke keningku. Itu perkenalan singkat antara mama Enggar, atau yang biasa aku panggil Tante Ambar denganku saat pertama kali kami bertemu. Sudah dua tahun aku berpacaran dengan Renggar Pramata, tentunya aku juga mulai mengenal keluarganya. Setiap liburan aku selalu main ke rumah Enggar. Setiap liburan? Ya.. karena rumah Enggar berada di Jakarta, sedangkan aku tinggal di Semarang dan Enggar bekerja sebagai staff di sebuah perusahaan penerbangan swasta di Semarang.
Malam ini aku melakukan perjalan menuju Jakarta, kami berdua biasa naik kereta api, karena jarak antara bandara ke rumah Enggar bisa-bisa membuat kami tua di jalan. Seperti biasa Enggar selalu tidur selama perjalanan. Capek, katanya. Malam itu entah kenapa aku tidak bisa tidur, aku hanya melihat kaca jendela, tak ada yang bisa kulihat, kecuali bayangan diriku dan Enggar, serta penumpang lainnya. Sangat gelap diluar sana.

Sekedar informasi Cerpen Sedih - Sekar ini adalah  Karangan Bellinda. Nah habis baca Cerpen Sedih sobat kliping bisa memperkaya referensi dengan membaca Cerpen Untuk Ibu dan Sobat kliping juga nantinya bisa melihat Cerpen Cinta Yang Rumit yang kliping kita pernah publish sebelumnya. Lihat juga Cerpen Pengalaman Hidup. Oke deh.. Selamat melanjutkan membaca  

“Lihat apa?” Tanya Enggar sambil membetulkan posisi duduknya. Aku hanya menggelengkan kepala, karena memang tak ada yang kulakukan selain melihat kaca jendela yang hitam itu. “Ini mungkin terakhir kalinya kamu pulang ke Jakarta sebagai pacarku.” Kata Enggar yang membuatku mengerutkan alis. Dan sekali lagi aku hanya diam. Enggar tak lantas melanjutkan kata-katanya. “Maksud kamu apa?” Tanyaku dengan suara bergetar menahan tangis. “Kamu mau kita putus?” Lanjutku. Enggar merangkulku, kemudian mencium keningku. Inikah akhir cinta antara aku dan Enggar? Tanyaku dalam hati. “Dengar aku baik-baik” Kata Enggar sambil memegang kedua lenganku dan menatap mataku yang mulai tak tahan menahan air mata. “Nanti setelah sampai dirumah, aku bakal bilang ke mama dan papa, kalau aku mau melamar kamu…Sayang..” Jelasnya sambil tersenyum. Tangisku makin menjadi-jadi, ku tatap mata Enggar dengan ekspresi campur aduk antara marah dan bahagia.
Enggar beserta keluarga besarnya datang kerumahku. Dia melamarku. Tak kusangka akhirnya setelah dua tahun kami berpacaran, dia melamarku juga. Aku sangat bahagia mendapatkan calon suami yang menghargai aku dan keluargaku, meskipun ya, dia kurang romantis. Tangal pernikahan kami pun sudah disiapkan. Tahun depan.
“Wah Mbak Sekar, selamat ya..akhirnya bisa juga mengambil hati Mas Enggar yang cuek banget sama cewek hahahaha..” Kata Sony, teman Enggar yang sudah aku anggap sebagai kakak aku sendiri. Sony lah yang selama ini sering memberikan nasihat saat pertengkaran melanda hubungan kami berdua, dia senantiasa membantu Enggar menyiapkan kejutan-kejutan kecil buatku. Dan aku tahu, bahwa itu semua ide Sony. “Terimakasih ya Mas Sony.” Kataku sambil menepuk-nepuk pundak Sony. Acara lamaran berjalan dengan lancar.
Malam ini Enggar mengajakku makan malam di cafe favorit kami berdua. Tidak seperti biasa, malam ini Enggar sangat rapi dan tampan. Dia memakai kemeja lengan panjang warna biru dongker yang dimasukkan kedalam celana jeans warna coklat susu dengan sepatu casual merk Nike kesayangannya. Ah, satu lagi, dia memakai sabuk warna coklat pemberianku. Dia juga memintaku memakai pakaian terbaikku. Maka, malam itu aku memakai dress selutut berbahan chiffon berwarna apricot, dan sepatu pemberian Enggar di hari ulangtahunku, Black-Suede Rhinestone Embellish Party Stiletto Heel Platform. Kami tampak serasi malam itu.
“Tumben…” Kataku dengan nada mengejek padanya. Dia mengerutkan keningnya. “Apa?” “Mmm… gaya kamu malam ini, sedikit romantis menurutku.” Kataku pada Enggar yang dari tadi melihat ke sekeliling. Dia hanya tersenyum. Manis sekali. Malam itu kami membicarakan hal-hal yang ringan, mulai dari pengalaman, suasana kantor sampai satu hal yang membuatku tak sabar menghadapinya, pernikahan.
“Kalau seandainya aku gak pernah ada di bumi ini, kamu bakal nikah sama siapa ya Sayang?” Tanyanya saat aku asyik menikmati pancake strawberry-mint yang sangat terkenal di cafe itu. “Sama orang lain lah Sayang, kan aku juga gak bakal kenal kamu.” Jawabku. Enggar terdiam kemudian bertanya lagi, “Kalo tiba-tiba aku menghilang, kamu gimana?” Aku berpikir sejenak, mencari jawaban untuk pertanyaan Enggar yang benar-benar tidak masuk akal. “Aku ini wanita, aku kuat, aku bisa hidup tanpa pria yang sangat tidak romantis sepertimu.” Dan itu jawaban yang aku berikan padanya. Kami terus mengobrol. Sampai akhirnya dia mengatakan besok akan ke Kalimantan. “Ada apa kesana?” Tanyaku penasaran. Ternyata dia ada tugas di suatu daerah di Kalimantan. “Lama?” Tanyaku lagi yang tak rela ditinggalkan olehnya. “Paling tiga hari, atau paling lama satu minggu.” “Aku ikut..” Kataku tanpa berpikir panjang, wajahkupun sudah pasti terlihat seperti anak-anak yang merengek minta dibelikan mainan saat ini. Enggar menghela nafasnya “Jangan seperti anak-anak ah,. Aku kan cuma sebentar.” Rayunya. Ahirnya dengan terpaksa aku memberinya ijin bertugas.
Tiga hari sudah aku menjalani hariku sendiri tanpa Enggar. Tidak seperti biasanya, dia tidak menelponku atau bahkan sms aku hari ini. Sudah dua sms aku kirimkan padanya, namun tak ada balasan seperti yang aku harapkan. “Hari minggu gini kok gak angkat telpon sih? Sms juga gak di bales.. kamu kemana sayang?” kataku dalam hati. Tiba-tiba HP ku berdering. Ternyata Sony yang menelpon. “Ya..ada apa Mas?” Kataku pada Sony di seberang sana. Dia tak lekas menjawabnya, cukup lama aku menunggu sahutan darinya, sampai aku mengatakan “Hallo” sebanyak tiga kali, dia baru menjawab “Sekar, kamu sudah dapat kabar dari Enggar?” Tanyanya dengan nada khawatir. Aku tahu pasti ada yang tidak beres pada Enggar, namun aku yakin Enggar pasti baik-baik saja. “Belum..” Jawabku. “Aku kerumah kamu sekarang” Kata Sony yang kemudian menutup telponnya. Dua puluh lima menit kemudian Sony dan dua teman Enggar datang kerumah. Wajah mereka tampak seperti menyembunyikan sesuatu. “Enggar kenapa Mas?” Tanyaku pada Sony sambil menangis. Sony memelukku tanpa berkata apapun. “Enggar sekarang dimana?” Tanyaku mencari tahu keadaan Enggar. “Mbak Sekar, hari ini Mas Enggar perjalanan dari Kalimantan ke Surabaya, tapi tiba-tiba kami kehilangan kontak dari pesawat yang ditumpanginya, Mbak Sekar sabar saja, kami masih terus berusaha mencari keberadaan pesawat itu, Mbak.” Penjelasan salah satu teman Enggar membuatku lemas, aku terjatuh ke lantai yang sangat dingin siang itu. Lalu semua gelap.
Perlahan aku membuka mataku, sudah ada mama, papa, dan Rara, adikku. Mereka mengelilingiku yang tergeletak di kasur kamarku. Mas Sony juga ada disana, namun dua teman Enggar sudah tidak ada disana. Aku tak mengatakan apapun, aku langsung menangis sejadi-jadinya. Aku belum tahu bagaimana keadaan Enggar saat ini, tapi sekali lagi aku tahu sesuatu menimpanya. Mama memelukku, aku melihat papa hanya menundukkan kepalanya. Rara yang tadi berdiri paling jauh dariku, keluar kamar sambil menyeka air matanya. “Aku mau telpon Tante Ambar, Ma.” Kataku pada mama yang aku yakin saat itu tak terdengar cukup jelas. Mama mengambil HP ku di meja sebelah kasurku, kemudian memberikannya padaku. Ku lihat HP itu, ada 2 panggilan tak terjawab dari Tante Ambar, dan satu pesan dari Om Baskara, papa Enggar. Ku buka sms dari Om Baskara, lalu aku mulai membacanya, walaupun tak jelas karena tertutupi air mataku, tapi aku bisa melihatnya. Sekar, hari ini Om dan Tante ke Surabaya. Itu bunyi smsnya. Aku mengurungkan niat untuk menelepon Tante Ambar, karena aku yakin dia tak bisa berkata apapun, dan hanya suara tangisan yang akan aku dengar. Sunyi. Semua menunggu kabar tentang Enggar, dan akhirnya Sony mendapat telepon yang mengatakan pesawat yang ditumpangi Enggar terjatuh dilaut, dan saat ini masih dalam pencarian.
Hari ini rumah Enggar sangat ramai, semua tamu yang datang mengenakan pakaian berwarna hitam, terkadang mereka menyalamiku sambil mengatakan “Sabar ya Mbak.” Bahkan ada juga yang memelukku sambil menangis. “Pemakamannya sebentar lagi Sekar, kamu gak mau lihat Enggar terakhir kali?” Tanya Om Baskara yang sedari tadi sibuk keluar masuk rumah. Aku hanya diam, tanpa bisa menangis. Sudah kuhabiskan air mataku selama perjalanan dari Semarang ke Jakarta. Selama perjalanan aku mengingat semua kenangan dan kejadian dimana ada aku dan Enggar. Dua setengah tahun bukanlah waktu yang singkat, banyak kenangan yang kami buat. Aku berdiri perlahan dari kursi ruang tengah. Om Baskara memapahku yang sudah tak bertenaga ini. Kulihat foto Baskara dengan seragam kerjanya didepan peti jadi kayu itu. Aku terdiam dan menatap Om Baskara yang memperhatikanku dan menggangguk kearahku, seolah berkata kamu bisa. Aku berjalan perlahan, Tante Ambar menangis tanpa air mata, mungkin air matanya sudah kering, sama denganku, disampingnya ada mama dan Rara. Aku beranikan diriku untuk melihat Enggar terakhir kalinya. Masih sama, dia terlihat sangat tampan, ada sedikit senyuman di bibirnya, aku tahu itu untuk kami yang ditinggalkan, agar tak terlalu sedih, karena dia pergi dengan tenang, wajahnya sangat pucat karena tak ada darah yang mengaliri wajahnya yang tirus itu, sekali lagi semua masih sama, hanya saja dia tak bernyawa saat ini.
Aku masih berdiri di depan makam yang masih basah itu, melihat batu nisannya bertuliskan Rengga Pratama. Tiba-tiba aku teringat ucapannya saat aku mengantanya ke bandara “Jangan lemah, jangan jadi penakut, jangan cengeng.” Aku mencibirkan bibirku, dia hanya tertawa kecil kemudian berkata “Karena kamu wanita.” Itu katanya sebelum pergi bertugas. Aku berjongkok di damping makam Enggar, kupegang nisannya. “Kamu bodoh Enggar, kamu pergi tanpa pamit padaku, apa kamu lupa bahwa aku ini adalah wanita yang bisa hidup tanpa pria yang tidak romantis sepertimu?” Kataku sambil tersenyum dan menangis. Kini aku benar-benar sendiri, tanpa Enggar, tanpa calon suami yang selama ini kubanggakan. Renggar Pratama, cinta pertama dan terakhirku sebelum aku mengenal pria lain yang dapat menggantikan posisi Enggar. Kini aku memiliki suami yang cukup romantis, dia bekerja di kantor yang sama dengan Enggar dulu, Sony Prameswara, ya.. Sony, teman Enggar, dia selalu menemaniku disaat-saat aku merasa sepi dan terpukul, dia yang membuatku bangkit kembali, dan hanya dia yang bisa menggantikan posisi Enggar. Meskipun sebenarnya Enggar masih tersimpan dalam hatiku.
Cerpen Karangan: Bellinda
Twitter: @bellindaamelia
Yang Mungkin Menarik Untuk Sobat Klipingkita Baca :

Nah kurang lebih seperti itulah referensi, artikel, review seputar Cerpen Sedih - Sekar. Jika informasi seputar Cerpen Sedih - Sekar ini bermanfaat bagi kalian semua, jangan sungkan berbagi dengan teman teman kalian di Facebook, Twitter dan google plus. Admin Kliping Kita
Cerpen Sedih - Sekar Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown
bebas bayar, pembayaran mudah dan cepat, transaksi online, pembayaran tagihan dan tiket, transfer dana online

Daftar Artikel