“Mama..kenalin ini Sekar.” Kata Enggar pada mamanya. Aku
melangkahkan kaki perlahan ke arah wanita setengah baya yang sedang
duduk di gazebo rumah Enggar. Wanita itu menoleh kearahku dan tersenyum,
kemudian mengulurkan tangannya. Kusahut tangan wanita yang terlihat
sangat ramah itu, lalu kutempelkan ke keningku. Itu perkenalan singkat
antara mama Enggar, atau yang biasa aku panggil Tante Ambar denganku
saat pertama kali kami bertemu. Sudah dua tahun aku berpacaran dengan
Renggar Pramata, tentunya aku juga mulai mengenal keluarganya. Setiap
liburan aku selalu main ke rumah Enggar. Setiap liburan? Ya.. karena
rumah Enggar berada di Jakarta, sedangkan aku tinggal di Semarang dan
Enggar bekerja sebagai staff di sebuah perusahaan penerbangan swasta di
Semarang.
Malam ini aku melakukan perjalan menuju Jakarta, kami berdua
biasa naik kereta api, karena jarak antara bandara ke rumah Enggar
bisa-bisa membuat kami tua di jalan. Seperti biasa Enggar selalu tidur
selama perjalanan. Capek, katanya. Malam itu entah kenapa aku tidak bisa
tidur, aku hanya melihat kaca jendela, tak ada yang bisa kulihat,
kecuali bayangan diriku dan Enggar, serta penumpang lainnya. Sangat
gelap diluar sana.
Sekedar informasi Cerpen Sedih - Sekar ini adalah Karangan Bellinda. Nah habis baca Cerpen Sedih sobat kliping bisa memperkaya referensi dengan membaca Cerpen Untuk Ibu dan Sobat kliping juga nantinya bisa melihat Cerpen Cinta Yang Rumit yang kliping kita pernah publish sebelumnya. Lihat juga Cerpen Pengalaman Hidup. Oke deh.. Selamat melanjutkan membaca
“Lihat apa?” Tanya Enggar sambil membetulkan posisi duduknya.
Aku hanya menggelengkan kepala, karena memang tak ada yang kulakukan
selain melihat kaca jendela yang hitam itu. “Ini mungkin terakhir
kalinya kamu pulang ke Jakarta sebagai pacarku.” Kata Enggar yang
membuatku mengerutkan alis. Dan sekali lagi aku hanya diam. Enggar tak
lantas melanjutkan kata-katanya. “Maksud kamu apa?” Tanyaku dengan suara
bergetar menahan tangis. “Kamu mau kita putus?” Lanjutku. Enggar
merangkulku, kemudian mencium keningku. Inikah akhir cinta antara aku
dan Enggar? Tanyaku dalam hati. “Dengar aku baik-baik” Kata Enggar
sambil memegang kedua lenganku dan menatap mataku yang mulai tak tahan
menahan air mata. “Nanti setelah sampai dirumah, aku bakal bilang ke
mama dan papa, kalau aku mau melamar kamu…Sayang..” Jelasnya sambil
tersenyum. Tangisku makin menjadi-jadi, ku tatap mata Enggar dengan
ekspresi campur aduk antara marah dan bahagia.
Enggar beserta keluarga besarnya datang kerumahku. Dia
melamarku. Tak kusangka akhirnya setelah dua tahun kami berpacaran, dia
melamarku juga. Aku sangat bahagia mendapatkan calon suami yang
menghargai aku dan keluargaku, meskipun ya, dia kurang romantis. Tangal
pernikahan kami pun sudah disiapkan. Tahun depan.
“Wah Mbak Sekar, selamat ya..akhirnya bisa juga mengambil hati Mas Enggar yang cuek banget sama cewek hahahaha..” Kata Sony, teman Enggar yang sudah aku anggap sebagai kakak aku sendiri. Sony lah yang selama ini sering memberikan nasihat saat pertengkaran melanda hubungan kami berdua, dia senantiasa membantu Enggar menyiapkan kejutan-kejutan kecil buatku. Dan aku tahu, bahwa itu semua ide Sony. “Terimakasih ya Mas Sony.” Kataku sambil menepuk-nepuk pundak Sony. Acara lamaran berjalan dengan lancar.
“Wah Mbak Sekar, selamat ya..akhirnya bisa juga mengambil hati Mas Enggar yang cuek banget sama cewek hahahaha..” Kata Sony, teman Enggar yang sudah aku anggap sebagai kakak aku sendiri. Sony lah yang selama ini sering memberikan nasihat saat pertengkaran melanda hubungan kami berdua, dia senantiasa membantu Enggar menyiapkan kejutan-kejutan kecil buatku. Dan aku tahu, bahwa itu semua ide Sony. “Terimakasih ya Mas Sony.” Kataku sambil menepuk-nepuk pundak Sony. Acara lamaran berjalan dengan lancar.
Malam ini Enggar mengajakku makan malam di cafe favorit kami
berdua. Tidak seperti biasa, malam ini Enggar sangat rapi dan tampan.
Dia memakai kemeja lengan panjang warna biru dongker yang dimasukkan
kedalam celana jeans warna coklat susu dengan sepatu casual merk Nike
kesayangannya. Ah, satu lagi, dia memakai sabuk warna coklat
pemberianku. Dia juga memintaku memakai pakaian terbaikku. Maka, malam
itu aku memakai dress selutut berbahan chiffon berwarna apricot, dan
sepatu pemberian Enggar di hari ulangtahunku, Black-Suede Rhinestone
Embellish Party Stiletto Heel Platform. Kami tampak serasi malam itu.
“Tumben…” Kataku dengan nada mengejek padanya. Dia
mengerutkan keningnya. “Apa?” “Mmm… gaya kamu malam ini, sedikit
romantis menurutku.” Kataku pada Enggar yang dari tadi melihat ke
sekeliling. Dia hanya tersenyum. Manis sekali. Malam itu kami
membicarakan hal-hal yang ringan, mulai dari pengalaman, suasana kantor
sampai satu hal yang membuatku tak sabar menghadapinya, pernikahan.
“Kalau seandainya aku gak pernah ada di bumi ini, kamu bakal
nikah sama siapa ya Sayang?” Tanyanya saat aku asyik menikmati pancake
strawberry-mint yang sangat terkenal di cafe itu. “Sama orang lain lah
Sayang, kan aku juga gak bakal kenal kamu.” Jawabku. Enggar terdiam
kemudian bertanya lagi, “Kalo tiba-tiba aku menghilang, kamu gimana?”
Aku berpikir sejenak, mencari jawaban untuk pertanyaan Enggar yang
benar-benar tidak masuk akal. “Aku ini wanita, aku kuat, aku bisa hidup
tanpa pria yang sangat tidak romantis sepertimu.” Dan itu jawaban yang
aku berikan padanya. Kami terus mengobrol. Sampai akhirnya dia
mengatakan besok akan ke Kalimantan. “Ada apa kesana?” Tanyaku
penasaran. Ternyata dia ada tugas di suatu daerah di Kalimantan. “Lama?”
Tanyaku lagi yang tak rela ditinggalkan olehnya. “Paling tiga hari,
atau paling lama satu minggu.” “Aku ikut..” Kataku tanpa berpikir
panjang, wajahkupun sudah pasti terlihat seperti anak-anak yang merengek
minta dibelikan mainan saat ini. Enggar menghela nafasnya “Jangan
seperti anak-anak ah,. Aku kan cuma sebentar.” Rayunya. Ahirnya dengan
terpaksa aku memberinya ijin bertugas.
Tiga hari sudah aku menjalani hariku sendiri tanpa Enggar.
Tidak seperti biasanya, dia tidak menelponku atau bahkan sms aku hari
ini. Sudah dua sms aku kirimkan padanya, namun tak ada balasan seperti
yang aku harapkan. “Hari minggu gini kok gak angkat telpon sih? Sms juga
gak di bales.. kamu kemana sayang?” kataku dalam hati. Tiba-tiba HP ku
berdering. Ternyata Sony yang menelpon. “Ya..ada apa Mas?” Kataku pada
Sony di seberang sana. Dia tak lekas menjawabnya, cukup lama aku
menunggu sahutan darinya, sampai aku mengatakan “Hallo” sebanyak tiga
kali, dia baru menjawab “Sekar, kamu sudah dapat kabar dari Enggar?”
Tanyanya dengan nada khawatir. Aku tahu pasti ada yang tidak beres pada
Enggar, namun aku yakin Enggar pasti baik-baik saja. “Belum..” Jawabku.
“Aku kerumah kamu sekarang” Kata Sony yang kemudian menutup telponnya.
Dua puluh lima menit kemudian Sony dan dua teman Enggar datang kerumah.
Wajah mereka tampak seperti menyembunyikan sesuatu. “Enggar kenapa Mas?”
Tanyaku pada Sony sambil menangis. Sony memelukku tanpa berkata apapun.
“Enggar sekarang dimana?” Tanyaku mencari tahu keadaan Enggar. “Mbak
Sekar, hari ini Mas Enggar perjalanan dari Kalimantan ke Surabaya, tapi
tiba-tiba kami kehilangan kontak dari pesawat yang ditumpanginya, Mbak
Sekar sabar saja, kami masih terus berusaha mencari keberadaan pesawat
itu, Mbak.” Penjelasan salah satu teman Enggar membuatku lemas, aku
terjatuh ke lantai yang sangat dingin siang itu. Lalu semua gelap.
Perlahan aku membuka mataku, sudah ada mama, papa, dan Rara,
adikku. Mereka mengelilingiku yang tergeletak di kasur kamarku. Mas Sony
juga ada disana, namun dua teman Enggar sudah tidak ada disana. Aku tak
mengatakan apapun, aku langsung menangis sejadi-jadinya. Aku belum tahu
bagaimana keadaan Enggar saat ini, tapi sekali lagi aku tahu sesuatu
menimpanya. Mama memelukku, aku melihat papa hanya menundukkan
kepalanya. Rara yang tadi berdiri paling jauh dariku, keluar kamar
sambil menyeka air matanya. “Aku mau telpon Tante Ambar, Ma.” Kataku
pada mama yang aku yakin saat itu tak terdengar cukup jelas. Mama
mengambil HP ku di meja sebelah kasurku, kemudian memberikannya padaku.
Ku lihat HP itu, ada 2 panggilan tak terjawab dari Tante Ambar, dan satu
pesan dari Om Baskara, papa Enggar. Ku buka sms dari Om Baskara, lalu
aku mulai membacanya, walaupun tak jelas karena tertutupi air mataku,
tapi aku bisa melihatnya. Sekar, hari ini Om dan Tante ke Surabaya. Itu
bunyi smsnya. Aku mengurungkan niat untuk menelepon Tante Ambar, karena
aku yakin dia tak bisa berkata apapun, dan hanya suara tangisan yang
akan aku dengar. Sunyi. Semua menunggu kabar tentang Enggar, dan
akhirnya Sony mendapat telepon yang mengatakan pesawat yang ditumpangi
Enggar terjatuh dilaut, dan saat ini masih dalam pencarian.
Hari ini rumah Enggar sangat ramai, semua tamu yang datang
mengenakan pakaian berwarna hitam, terkadang mereka menyalamiku sambil
mengatakan “Sabar ya Mbak.” Bahkan ada juga yang memelukku sambil
menangis. “Pemakamannya sebentar lagi Sekar, kamu gak mau lihat Enggar
terakhir kali?” Tanya Om Baskara yang sedari tadi sibuk keluar masuk
rumah. Aku hanya diam, tanpa bisa menangis. Sudah kuhabiskan air mataku
selama perjalanan dari Semarang ke Jakarta. Selama perjalanan aku
mengingat semua kenangan dan kejadian dimana ada aku dan Enggar. Dua
setengah tahun bukanlah waktu yang singkat, banyak kenangan yang kami
buat. Aku berdiri perlahan dari kursi ruang tengah. Om Baskara memapahku
yang sudah tak bertenaga ini. Kulihat foto Baskara dengan seragam
kerjanya didepan peti jadi kayu itu. Aku terdiam dan menatap Om Baskara
yang memperhatikanku dan menggangguk kearahku, seolah berkata kamu bisa.
Aku berjalan perlahan, Tante Ambar menangis tanpa air mata, mungkin air
matanya sudah kering, sama denganku, disampingnya ada mama dan Rara.
Aku beranikan diriku untuk melihat Enggar terakhir kalinya. Masih sama,
dia terlihat sangat tampan, ada sedikit senyuman di bibirnya, aku tahu
itu untuk kami yang ditinggalkan, agar tak terlalu sedih, karena dia
pergi dengan tenang, wajahnya sangat pucat karena tak ada darah yang
mengaliri wajahnya yang tirus itu, sekali lagi semua masih sama, hanya
saja dia tak bernyawa saat ini.
Aku masih berdiri di depan makam yang masih basah itu,
melihat batu nisannya bertuliskan Rengga Pratama. Tiba-tiba aku teringat
ucapannya saat aku mengantanya ke bandara “Jangan lemah, jangan jadi
penakut, jangan cengeng.” Aku mencibirkan bibirku, dia hanya tertawa
kecil kemudian berkata “Karena kamu wanita.” Itu katanya sebelum pergi
bertugas. Aku berjongkok di damping makam Enggar, kupegang nisannya.
“Kamu bodoh Enggar, kamu pergi tanpa pamit padaku, apa kamu lupa bahwa
aku ini adalah wanita yang bisa hidup tanpa pria yang tidak romantis
sepertimu?” Kataku sambil tersenyum dan menangis. Kini aku benar-benar
sendiri, tanpa Enggar, tanpa calon suami yang selama ini kubanggakan.
Renggar Pratama, cinta pertama dan terakhirku sebelum aku mengenal pria
lain yang dapat menggantikan posisi Enggar. Kini aku memiliki suami yang
cukup romantis, dia bekerja di kantor yang sama dengan Enggar dulu,
Sony Prameswara, ya.. Sony, teman Enggar, dia selalu menemaniku
disaat-saat aku merasa sepi dan terpukul, dia yang membuatku bangkit
kembali, dan hanya dia yang bisa menggantikan posisi Enggar. Meskipun
sebenarnya Enggar masih tersimpan dalam hatiku.
Cerpen Karangan: Bellinda
Twitter: @bellindaamelia
Yang Mungkin Menarik Untuk Sobat Klipingkita Baca :
Nah kurang lebih seperti itulah referensi, artikel, review seputar Cerpen Sedih - Sekar. Jika informasi seputar Cerpen Sedih - Sekar ini bermanfaat bagi kalian semua, jangan sungkan berbagi dengan teman teman kalian di Facebook, Twitter dan google plus. Admin Kliping Kita
Twitter: @bellindaamelia
Yang Mungkin Menarik Untuk Sobat Klipingkita Baca :